Anak Petani Hipere (Mau) Jadi Anggota Dewan

Catatan Perjalanan

Bocah itu berdiri gelisah di depan gerbang Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen Lachai Roi, Hom-Hom, Wamena. Saat itu sudah pukul 8.35 WIT. Matahari sudah bersinar terang dan hari itu sepertinya lebih terik dari biasanya. Kulitnya yang gelap semakin berkilau memantulkan sinar matahari. Sudah 20 menit dia menunggu. Dengan dahi serius, wajah tanpa senyum, rahang yang mengeras, dan tatapan tajam dia sandarkan harapannya pada motor-motor yang melintas dan berharap orang yang ditunggu segera muncul. Sesekali dia jongkok, menatap ragu ke selokan. Bocah itu mulai mendekat ke pagar sekolah, mengamati anak-anak berseragam merah putih sedang bermain dan tertawa seperti tidak ada beban dan inilah dunia yang sempurna – gedung sekolah, halaman berumput, seragam putih merah, buku dan pensil.

“Takut,” begitu jawabnya disertai gelengan kepala ketika saya mengajak dia masuk ke dalam pekarangan sekolah dan menunggu di kantor Tata Usaha sekolah. Namun tatapan itu belum memudar, semakin dalam dan semakin ingin menjadi bagian dari permainan anak-anak berseragam putih merah. Hari semakin panas, yang ditunggu belum datang juga. Saya mengajaknya ke tempat yang lebih rindang. “Sa (saya) mau tunggu disini saja, kak” dan saya pun duduk dengannya di jembatan kayu yang membawahi selokan persis depan gerbang sekolah di samping jalan raya Hom-Hom. Kami berdua menjadi tontonan gratis pengendara dan orang yang melintas – wanita dengan celana cargo, sepatu kets, jaket tebal, topi, dan kamera besar dengan seorang anak bercelana pendek warna biru, kaus putih, sandal jepit ungu-putih. Sesekali atau ratusan kali mungkin juga kami mengirup asap buangan dari mobil Strada yang dijadikan taksi ke daerah off-road. Saya sudah semakin kepanasan dan kuatir migrain saya akan kambuh.

Akhirnya orang yang ditunggu muncul. Ibu Wenda, yang merupakan sekretaris PPA El-Roy, terburu-buru menghentikan motornya. “Selamat pagi. Sudah lama?” tanyanya. “Sudah dari jam 8, Bu,” jawab saya. Ibu Wenda tersenyum dan bikin saya ingin jengkel. Pikiran saya, Tandiur sudah satu jam menunggu Anda, Ibu. Satu jam! Lalu beliau menjelaskan dan oalah, ternyata mereka janji pukul 9 pagi!

Saya seperti merasakan detak jantung Tandiur saat melangkah memasuki pelataran sekolah menuju kantor kepala sekolah. Tandiur bersama dua temannya dari PPA yang juga akan didaftar hari itu menunggu di depan pintu kantor kepala sekolah. Dia mengintip ke dalam ruangan lantasmenatap anak-anak di lapangan. Mimpi itu akan menjadi kenyataan hanya dalam hitungan ribuan detik lagi.

Tatapan Tandiur semakin menunjukkan kegelisahan dipacu harapan saat kepala sekolah mulai berlama-lama menyelesaikan dokumen-dokumen mereka dan sepertinya berat hati memberikan senyum. Ketegangannya mulai mengendur meski tidak ada senyum di bibirnya ketika ibu Wenda mengeluarkan uang Rp. 500.000,00. Dua ratus ribu untuk biaya pembuatan raport kelas 1 dan 2, masing-masing dua semester. Tiga ratus ribu rupiah untuk biaya penerimaan pendaftaran Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen Lachai Roi, termasuk seragam putih merah dua pasang. Tandiur resmi masuk di kelas 3. “Besok kalian sudah boleh mulai belajar. Belajar yang rajin karena ibu ini sudah susah payah mengusahakan kalian supaya bisa langsung masuk di kelas 3 di sekolah ini, ya?” nasehat bapak kepala sekolah. “Iya, pak!” Tandiur dan kedua temannya menjawab takut-takut. Tuk! Bunyi stempel di nota berwarna hijau mengartikan besok dan besoknya dan besoknya Tandiur resmi bermain dengan anak-anak berseragam merah putih.

Tandiur Kogoya, 9 tahun, adalah satu diantara jutaan anak-anak usia sekolah di Indonesia yang tidak bersekolah. Faktor ekonomi masih menjadi penyebab utama anak tidak sanggup bersekolah. Ayah Tandiur, Terianus Kogoya, adalah seorang petani hipere (ubi jalar) yang menjadi khas di Wamena. Terianus tinggal bersama istri keduanya, Tina Jikwa, dan adik Tandiur, Terriana. Hipere dihargai murah sementara bahan-bahan makanan dan kebutuhan hidup yang lain sangat mahal. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan perut Terianus, Tina, dan Terianna biasanya hanya makan hipere setiap hari. Itu pun hanya sekali sehari. Kebun hipere persis mengelilingi gubuk Terianus. Jadi hanya tinggal cabut dan rebus.

Tandiur lebih beruntung dari adiknya Terianna. Sejak umurnya beberapa tahun lebih muda, Tandiur diajak tinggal oleh sebuah keluarga di Lok 3 sekitar 300 meter dari rumah Terianus walau hampir setiap hari Tandur menungjungi keluarganya di bawah (begitu Tandiur menyebutkan letak rumah ayahnya). Pola hidup Tandiur jauh ‘lebih sehat dan baik’ dibandingkan ayah, ibu dan, adiknya. Pagi minum teh dan makan kue. Siang makan nasi, sayur atau mie, ikan laut atau ikan mujahir. Begitu juga malamnya. Selebihnya Tandiur membantu keluarga ini dengan menjaga anak mereka yang masih batita disamping membersihkan dan menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah. Menurut data UNICEF, terdapat sekitar 317 juta anak usia 5 – 17 di tahun 2004 yang sudah mampu mendapatkan penghasilan sendiri, dimana 218 juta diantaranya tecatat sebagai pekerja anak. 126 juta diantaranya bekerja di tempat berbahaya. Dan anak-anak yang bekerja di rumah orang lain besar kemungkinan mengalami eksploitasi atau tindak kekerasan.

Tandiur tidak pernah mengungkapkan pernah mengalami kekerasan. “Tante dan Oom belikan sa baju dan sandal,” lalu menunjuk kaus kuning dan sandal ungu putih yang sedang dia kenakan. Mungkin mereka memperlakukan Tandiur selayaknya saudara dekat. Tapi Tandiur mengalami hal yang jauh lebih serius dengan menyaksikan berbagai hal di rumah keluarga ini dan lingkungan tersebut. “Sa lihat tante-tante berkaus singlet dan om-om minum-minum dan berjoget-joget hampir setiap malam,” begitu kesaksian Tandiur dengan suasana malam hari di Lok 3.

Masih tanpa ekspresi Tandiur bercerita pengalamannya belajar menulis dan membaca dari mantan tetangga ayahnya yang sudah pindah entah kemana. Tidak beberapa lama kemudian PPA (Pusat Pengembangan Anak) El-Roy, sekitar 600 meter dari rumah ayah Tandiur, merekrut Tandiur dan Terriana menjadi anak PPA. Meski tidak bersekolah, tingkat pengetahuan dan kecerdasan Tandiur tidak kalah baiknya dengan anak-anak PPA lainnya yang bersekolah. Setelah berembuk di jajaran pengurus, PPA dan gereja setuju untuk mengusahakan masuknya Tandiur dan kedua temannya ke sekolah formal.

Rabu, 3 September 2008, Tandiur resmi menjadi siswa kelas 3 di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen Lachai Roi, Hom-Hom, Wamena. Tinggal selangkah lagi cita-cita Tandiur akan menjadi kenyataan. “Pak Pendeta, sa kalau pegang sekop saja (saat itu sedang menggarap kebun gereja), pasti tidak ada perempuan yang mau. Jadi saya harus sekolah supaya sukses. Saya juga mau coba jadi anggota dewan supaya bisa memikirkan pemekeran daerah,” begitulah sepenggal mimpi Tandiur kepada Bapak Gideon, pendeta Gereja El-Roy, terbaur dengan hiruk pikuk pemikiran orang dewasa selama dia tinggal di Lok 3. Dan selangkah itu masih sangat panjang dan berat.

Saya penasaran dengan pernyataan ‘perempuan’ itu lalu saya selidiki sejauh apa pemikirannya tentang seorang perempuan. “Sa mau istri yang tidak pemabuk dan baik, rajin mencuci piring, dan membersihkan rumah… tapi kalau Bapa (panggilannya pada ayahnya) suruh sa tidak kawin, sa tidak akan kawin.”

Ah… saya hanya bisa tersenyum. Begitu sederhana dan mulianya mimpi-mimpi Tandiur. Namun begitu mudahnya mimpi itu musnah jika keberadaan seorang anak tidak lagi berharga dan berperan dalam kehidupan orang dewasa dan dalam kebijakan para pemimpin.

Menjadi saksi kegigihan Tandiur adalah satu pelajaran berharga dalam perjalanan hidup saya. Bersyukur masih ada pemimpin-pemimpin yang memiliki hati untuk menggali potensi terbaik dari sebuah generasi yang hampir terlupakan di ujung timur Indonesia.